Penerapan Teori Belajar Humanistik dalam Pembelajaran

Selain teori belajar behavioristik dan teori kognitif yang sudah dikenal sejak lama dalam proses pembelajaran, karena implementasinya yang sangat rinci dengan langkah –langkahnya, teori belajar humanistik juga penting untuk dipahami, karena teori ini bertujuan memanusiakan manusia.

Dan pada posting kali ini saya akan coba mengulas tentang Teori Belajar Humanistik yang selama ini jarang sekali kita terapkan secara langsung dalam pembelajaran.

Teori Belajar Humanistik

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang penerapanya dalam pembelajaran, terlebih dahulu kita pahami pandangan tokoh – tokoh aliran humanistik dan pengertian teori humanistik itu sendiri.

A. Pendapat tokoh – tokoh aliran humanistik


Empat Pandangan/pendapat dari tokoh penganut aliran humanistik yang terkenal yaitu :

1. Pandangan Kolb terhadap belajar


Seorang ahli psikologi dari jerman sebagai penganut aliran humanistik mempunyai pandangan terhadap belajar, dan membaginya menjadi empat tahap, yaitu :

a. Tahap pengalaman Konkret


Dalam tahap ini, merupakan tahap paling awal dalam peristiwa belajar, dimana dalam tahap ini seseorang dapat mengalami suatu peristiwa atau kejadian sebagaimana adanya.

Artinya dalam tahap ini seseorang dapat melihat dan merasakan serta menceritakan peristiwa tersebut sesuai dengan apa yang dialaminya.
Namun dalam tahap ini seseorang belum memiliki kesadaran tentang hakikat dari peristiwa belajar tersebut. Ia hanya dapat merasakan kejadian tersebut apa adanya, dan belum dapat memahami serta menjelaskan bagaimana peristiwa ini terjadi.

Sehingga ia belum dapat memahami mengapa peristiwa tersebut harus terjadi seperti itu.
Kemampuan seperti inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap paling awal dalam proses belajar.

b. Tahap pengamatan aktif dan reflektif


Tahap kedua dalam peristiwa belajar adalah bahwa seseorang makin lama akan semakin mampu melakukan observasi secara aktif terhadap peristiwa yang dialaminya.

Dalam tahap ini mulai ada upaya untuk mencari jawaban dan memikirkan kejadian tersebut,melalui refleksi terhadap peristiwa yang dialaminya, dengan mengembangkan pertanyaan – pertanyaan bagaimana hal tersebut bisa terjadi, dan mengapa hal itu mesti terjadi.

Pemahamannya terhadap peristiwa yang dialaminya semakin berkembang.
Kemampuan inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap kedua dalam proses belajar.

c. Tahap konseptualisasi


Tahap ketiga dalam peristiwa belajar adalah seseorang sudah mulai berupaya untuk membuat abstraksi.
Dalam tahap ini seseorang akan mengembangkan suatu teori, konsep, atau hukum dan prosedur tentang sesuatu yang menjadi objek perhatiannya/ dari peristiwa yang dialaminya.

Tahap berpikir induktif mulai banyak dilakukan untuk merumuskan suatu aturan umum atau generalisasi dari berbagai contoh peristiwa yang dialaminya.

Walaupun kejadian – kejadian yang diamati tampak berbeda – beda, namun memiliki komponen – komponen yang sama yang dapat dijadikan dasar aturan bersama.

d. Tahap eksperimentasi aktif


Pada Tahap terakhir ini seseorang yang belajar sudah mampu mengaplikasikan konsep – konsep , teori atau aturan ke dalam situasi nyata. Artinya tahap berpikir deduktif sudah banyak digunakan untuk mempraktekkan dan menguji teori – teori serta konsep – konsep di lapangan. Ia tidak lagi mempertanyakan asal usul teori atau rumus rumus tersebut, tetapi kemampuan untuk menggunakan teori atau rumus tersebut untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, yang belum pernah di jumpai sebelumnya.

Tahapan – tahapan belajar di atas dilukiskan oleh Kolb sebagai suatu siklus yang berkesinambungan dan berlangsung diluar kesadaran orang yang belajar.

Secara teoritis tahapan – tahapan belajar tersebut memang dipisahkan, tetapi dalam kenyataannya proses peralihan dari satu tahap ke tahap belajar lainya sering kali terjadi begitu saja sulit ditentukan kapan terjadinya.

2. Pandangan Honey dan Mumford terhadap belajar


Tokoh teori humanistik lain yang diilhami oleh pandangan Kolb adalah Honey dan Mumford. Dua tokoh ini mempunyai pandangan terhadap belajar berdasarkan kelompok atau penggolongan.

Menurut dua tokoh ini orang yang belajar dapat digolongkan menjadi empat golongan/ kelompok berdasarkan karakteristik yang berbeda – beda :

a. Kelompok aktivis.


Orang – orang yang termasuk ke dalam kelompok aktivis adalah mereka yang senang melibatkan diri dan berpartisipasi langsung dalam berbagai kegiatan, dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman baru.

Orang – orang tipe ini mempunyai karakter mudah diajak dialog, memiliki pemikiran terbuka, menghargai pendapat orang lain, dan mudah percaya pada orang lain.

Namun kekurangan dari orang tipe ini dalam melakukan suatu tindakan sering kali kurang mempertimbangkan secara matang, dan lebih banyak di dorong oleh kesenangannya untuk melibatkan diri.

Dalam kegiatan belajar, orang tipe ini senang pada hal –hal yang sifatnya penemuan – penemuan baru, seperti pemikiran baru, pengalaman baru, dan hal baru lainnya.

Metode yang cocok untuk kelompok ini adalah Problem solving, brainstorming. Namun mereka akan cepat bosan dengan kegiatan – kegiatan yang implementasinya membutuhkan waktu yang lama.

b. Kelompok Reflektor


Mereka yang termasuk kelompok ini mempunyai kecenderungan yang berlawanan dengan orang – orang kelompok aktivis. Dalam melakukan suatu tindakan, orang – orang kelompok reflektor sangat berhati – hati dan penuh pertimbangan.

Pertimbangan – pertimbangan baik-buruk dan untung ruginya selalu diperhitungkan dengan cermat dalam mengambil keputusan.
Orang – orang kelompok ini tidak mudah dipengaruhi, sehingga mereka cenderung bersifat konservatif.

c. Kelompok Teoritis.


Orang – orang kelompok teoritis ini memiliki kecenderungan yang sangat kritis, suka menganalisis, selalu berfikir rasional dengan menggunakan penalarannya.

Segala sesuatunya sering dikembalikan kepada teori dan konsep – konsep atau hukum – hukum. Mereka tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif.

Dalam melakukan atau memutuskan sesuatu, kelompok teoritis penuh dengan pertimbangan, sangat skeptis dan tidak menyukai hal – hal yang bersifat spekulatif.

Mereka tampak lebih tegas dan mempunyai pendirian yang kuat, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain.

d. Kelompok Pragmatis


Berbeda dengan kelompok sebelumnya, kelompok tipe ini memiliki sifat – sifat yang praktis, tidak suka berpanjang lebar dengan teori – teori, konsep, dalil, dan sebagainya.

Bagi mereka yang penting adalah aspek – aspek praktis, sesuatu yang nyata dan dapat dilaksanakan.
Sesuatu hanya bermanfaat jika dapat dipraktekkan. Teori, konsep, dalil, memang penting, tetapi jika semua itu tidak dapat dipraktekkan maka teori, dalail dan sebagainya tidak ada gunanya.

Bagi kelompok ini sesuatu adalah baik dan berguna jika dapat dipraktekkan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Keempat kelompok tersebut diatas menurut Honey dan Mumford ada dalam setiap rombongan belajar, sehingga penerapan pendekatan dan metode yang variatif dan sesuai sangat dianjurkan dalam pembelajaran.

3. Pandangan Habermas terhadap belajar


Menurut tokoh humanis ini, belajar baru dapat terjadi jika ada interaksi antara individu dengan lingkungannya.

Lingkungan belajar yang dimaksud disini adalah lingkungan alam dan lingkungan sosial, sebab keduanya tidak dapat dipisahkan.
Dengan pandangannya yang demikian, habermas membagi tipe belajar menjadi tiga, yaitu :

a. Belajar Teknik (technical Learning).


Belajar teknis adalah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar.

Pengetahuan dan keterampilan apa yang dibutuhkan dan perlu dipelajari agar dapat menguasai dan mengelola lingkungan alam sekitarnya dengan baik. Oleh karena itu, ilmu – ilmu alam (sains) sangat dipentingkan dalam belajar teknis.

b. Belajar Praktik Practical learning)


Belajar praktis adalah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang – orang di sekelilingnya dengan baik.

Kegiatan belajar ini lebih mengutamakan terjadinya interaksi yang harmonis antara sesama manusia.
Untuk itu bidang – bidang ilmu yang berhubungan dengan sosiologi, komunikasi, psikologi, antropologi, dan semacamnya sangat diperlukan.

Namun demikian mereka percaya bahwa pemahaman dan keterampilan seseorang dalam mengelola lingkungan alamnya tidak dapat dipisahkan dengan kepentingan manusia pada umumnya. Oleh karena itu interaksi yang benar antara individu dengan lingkungan alamnya hanya akan tampak dari relevansinya dengan kepentingan manusia.

Interaksi Sosial

c. Belajar Emansipatoris (Emancipatory learning)


Belajar emansipatoris menekankan upaya agar seseorang mempunyai suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan terjadinya perubahan atau transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya.

Dengan demikian maka dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan serta sikap yang benar untuk mendukung terjadinya transformasi kultural tersebut.
Untuk itu, ilmu – ilmu yang berhubungan dengan budaya dan bahasa sangat dibutuhkan.

Pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural inilah menurut Habermas dianggap sebagai tahap belajar yang paling tinggi, sebab transformasi kultural adalah tujuan pendidikan yang paling tinggi.

Menilik pandangan Habermas di atas maka dalam sebuah proses belajar perlu menyentuh aspek teknis, aspek praktis dan aspek emansipatoris.

BACA JUGA : PSIKOLOGI MENGAJAR

4. Pandangan Bloom dan Krathwohl.


Tokoh lain yang termasuk tokoh penganut aliran humanis adalah Bloom dan Krathwohl. Menurut mereka menekankan perhatian pada apa yang mesti dikuasai oleh individu adalah sebagai tujuan belajar setelah melalui proses belajar.

Tujuan belajar yang dikemukakannya dirangkum ke dalam tiga kawasan yang dikenal dengan Taksonomi Bloom.
Melalui taksonomi Bloom inilah telah berhasil memberikan inspirasi kepada banyak pakar pendidikan dalam mengembangkan teori teori maupun praktek pembelajaran.

Pada tataran praktis, taksonomi Bloom ini telah membantu para pendidik dan guru untuk merumuskan tujuan – tujuan belajar yang akan dicapai, dengan rumusan yang mudah dipahami.

Berpijak pada taksonomi Bloom ini pulalah para praktisi pendidikan dapat merancang program – program pembelajarannya.

Setidaknya di Indonesia, taksonomi Bloom ini telah banyak dikenal dan populer di lingkungan pendidik

Secara singkat ketiga kawasan dalam taksonomi bloom adalah seperti berikut ini :

a. Domain Kognitif, terdiri atas 6 tingkatan, yaitu:


1) Pengetahuan (mengingat, menghafal)
2) Pemahaman (menginterpretasikan)
3) Aplikasi ( menggunakan konsep untuk memecahkan masalah)
4) Analisis (menjabarkan suatu konsep)
5) Sintesis ( menggabungkan beberapa bagian konsep menjadi satu konsep utuh)
6) Evaluasi ((membandingkan nilai – nilai , ide, metode, dsb)

b. Domain Psikomotor, terdiri dari 5 tingkatan, yaitu :


1) Peniruan (menirukan gerak)
2) Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak)
3) Ketepatan (melakukan gerak dengan benar)
4) Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)
5) Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar)

c. Domain Afektif.


Terdiri dari 5 tingkatan, yaitu:

1) Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
2) Merespon (aktif berpartisipasi)
3) Penghargaan ( menerima nilai nilai, setia kepada nilai – nilai tertentu)
4) Pengorganisasian ( menghubung –hubungkan nilai yang dipercayainya)
5) Pengamalan (menjadikan nilai – nilai sebagai bagian dari pola hidupnya)

B. Pengertian belajar menurut teori humanistik


Dari pendapat para ahli yang beraliran teori humanistik di atas maka, menurut teori humanistik proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri.

Oleh karena itu teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati kajian filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi, dari pada bidang kajian psikologi belajar.

Teori humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari daripada proses itu sendiri.
Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep – konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita – citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal.

Dengan kata lain pemahaman terhadap belajar yang diidealkan menjadikan teori humanistik dapat memanfaatkan teori belajar apapun asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar secara optimal.

Hal ini menjadikan teori ini bersifat sangat eklektik.

Apa yang dimaksud dengan eklektik ?

Untuk memahami ini, kita lihat teori belajar yang lain yang selama ini melakukan penelitiannya dari sudut pandang masing – masing ahli dan menganggap bahwa keterangannya tentang bagaimana manusia itu belajar adalah sebagai keterangan yang paling memadai. Maka akan terdapat berbagai teori tentang belajar sesuai pandangan masing – masing.

Dari penalaran di atas ternyata bahwa perbedaan antar pandangan satu dengan yang lain itu karena perbedaan sudut pandang semata, walaupun pandangan yang berbeda –beda itu hanyalah keterangan mengenai hal yang sama/satu, dipandang dari sudut pandang yang berlainan.

Dengan demikian teori Humanistik adalah teori belajar dengan pandangan yang eklektik, yaitu dengan cara memanfaatkan atau merangkum berbagai teori belajar dengan tujuan untuk memanusiakan manusia, hal ini bukan saja mungkin untuk dilakukan tetapi justru harus dilakukan.

C. Penerapan Teori Belajar Humanistik dalam kegiatan pembelajaran.


Teori humanistik sering dikritik karena dianggap sukar diterapkan dalam konteks yang lebih praktis. Bahkan dianggap sukar menerjemahkannya ke dalam langkah – langkah yang lebih konkret dan praktis.

Namun karena sifatnya yang ideal, yaitu memanusiakan manusia, maka teori ini mampu memberikan arah terhadap semua komponen pembelajaran untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut.

Untuk itu semua komponen pendidikan harus diarahkan pada terbentuknya manusia ideal, yaitu manusia yang mampu mencapai aktualisasi diri. Dalam hal ini sangat perlu diperhatikan bagaimana perkembangan peserta didik dalam mengaktualisasi dirinya, pemahaman terhadap dirinya serta realisasi diri.

Tidak kalah pentingnya pengalaman emosional dan karakteristik khusus individu dalam belajar perlu diperhatikan oleh guru dalam merencanakan pembelajaran. Karena seseorang akan dapat belajar dengan baik jika mempunyai pengertian tentang dirinya sendiri dan dapat membuat pilihan – pilihan secara bebas ke arah mana dia akan berkembang.

Jadi teori humanistik mampu menjelaskan bagaimana tujuan yang ideal tersebut dapat dicapai.

Meskipun teori humanistik ini masih dianggap sukar diterjemahkan kedalam langkah – langkah pembelajaran yang praktis dan operasional namun teori ini sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya.

Sisi lain sumbangan teori ini dapat membantu para pendidik dalam memahami hakikat kejiwaan manusia .
Menurut teori ini agar pembelajaran lebih bermakna bagi siswa, diperlukan inisiatif dan keterlibatan penuh dari siswa itu sendiri.. maka siswa akan mengalami belajar eksperimental.

Dalam prakteknya teori ini cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar.

Menurut pendapat suciati dan Prasetyo Irawan (2001) alternatif langkah – langkah pembelajaran dengan pendekatan humanistik adalah sebagai berikut:

  1. Menentukan tujuan – tujuan pembelajaran.
  2. Menentukan materi pelajaran
  3. Mengidentifikasi kemampuan awal siswa
  4. Mengidentifikasi topik – topik pembelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif melibatkan diri atau mengalami dalam belajar.
  5. Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran.
  6. Membimbing siswa belajar secara aktif
  7. Membimbing siswa untuk memahami hakikat makna dari pengalaman belajarnya
  8. Membimbing siswa membuat konseptualisasi pengalaman belajar belajarnya
  9. Membimbing siswa dalam mengaplikasikan konsep - konsep baru ke situasi nyata.
  10. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.

Demikian ini tentang teori humanistik yang dapat saya uraikan semoga bermanfaat.

Previous
Next Post »